watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita Sexs
Kisah Perselingkuhan

Namaku Faridha. Orang biasa memanggilku
dengan Ridha saja. Aku lahir tahun 1975 di
sebuah kota terkenal dengan julukannya, yaitu
kota hujan. Aku telah menikah dengan seorang
pria keturunan Jawa bernama Mas Hadi. Kami
dikarunai seorang anak laki-laki yang kulahirkan
di akhir tahun 1999. Oh.. iya, aku menikah
dengan Mas Hadi pada tahun 1998, bulan April.
Kehidupan kami biasa saja, dari segi ekonomi
sampai hubungan suami istri. Aku dan suamiku
cukup menikmati kehidupan ini. Suamiku yang
kalem dan sedikit pendiam adalah seorang
pegawai swasta di kotaku ini. Penghasilan
sebulannya cukup untuk menghidupi kami
bertiga. Namun kami belum begitu puas. Walau
bagaimana kami harus merasakan lebih bukan
hanya sekedar cukup.
Karena jabatan suamiku sudah tidak mungkin
lagi naik di perusahaannya, untuk menambah
penghasilan kami, aku meminta ijin kepada Mas
Hadi untuk bekerja, mengingat pendidikanku
sebagai seorang Accounting sama sekali tidak
kumanfatkan semenjak aku menikah. Pada
dasarnya suamiku itu selalu menuruti
keinginanku, maka tanpa banyak bicara dia
mengijinkan aku bekerja, walaupun aku sendiri
belum tahu bekerja di mana, dan perusahaan
mana yang akan menerimaku sebagai seorang
Accounting, karena aku sudah berkeluarga.
“Bukankah kamu punya teman yang anak
seorang Direktur di sini?” kata suamiku di suatu
malam setelah kami melakukan hubungan
badan.
“Iya… si Yanthi, teman kuliah Ridha..!” kataku.
“Coba deh, kamu hubungi dia besok. Kali saja dia
mau menolong kamu..!” katanya lagi.
“Tapi, benar nih.. Mas.. kamu ijinkan saya
bekerja..?”
Mas Hadi mengangguk mesra sambil menatapku
kembali.
Sambil tersenyum, perlahan dia dekatkan
wajahnya ke wajahku dan mendaratkan bibirnya
ke bibirku.
“Terimakasih.. Mas.., mmhh..!” kusambut
ciuman mesranya.
Dan beberapa lama kemudian kami pun mulai
terangsang lagi, dan melanjutkan persetubuhan
suami istri untuk babak yang ketiga. Kenikmatan
demi kenikmatan kami raih. Hingga kami lelah
dan tanpa sadar kami pun terlelap menuju alam
mimpi kami masing-masing.
Perlu kuceritakan di sini bahwa Rendy, anak kami
tidak bersama kami. Dia kutitipkan ke nenek dan
kakeknya yang berada di lain daerah, walaupun
masih satu kota. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi cucunya ini, karena anakku adalah
satu-satunya cucu laki-laki mereka.
Siang itu ketika aku terbangun dari mimpiku, aku
tidak mendapatkan suamiku tidur di sisiku. Aku
menengok jam dinding. Rupanya suamiku
sudah berangkat kerja karena jam dinding itu
sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku
teringat akan percakapan kami semalam. Maka
sambil mengenakan pakaian tidurku (tanpa BH
dan celana dalam), aku beranjak dari tempat
tidur berjalan menuju ruang tamu rumahku,
mengangkat telpon yang ada di meja dan
memutar nomor telpon Yanti, temanku itu.
“Hallo… ini Yanti..!” kataku membuka
pembicaraan saat kudengar telpon yang
kuhubungi terangkat.
“Iya.., siapa nih..?” tanya Yanti.
“Ini.. aku Ridha..!”
“Oh Ridha.., ada apa..?” tanyanya lagi.
“Boleh nggak sekarang aku ke rumahmu, aku
kangen sama kamu nih..!” kataku.
“Silakan.., kebetulan aku libur hari ini..!” jawab
Yanti.
“Oke deh.., nanti sebelum makan siang aku ke
rumahmu. Masak yang enak ya, biar aku bisa
makan di sana..!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Sialan luh. Oke deh.., cepetan ke sini.., ditunggu
loh..!”
“Oke.., sampai ketemu yaa.. daah..!” kataku
sambil menutup gagang telpon itu.
Setelah menelepon Yanti, aku berjalan menuju
kamar mandi. Di kamar mandi itu aku melepas
pakaianku semuanya dan langsung
membersihkan tubuhku. Namun sebelumnya
aku bermasturbasi sejenak dengan memasukkan
jariku ke dalam vaginaku sendiri sambil pikiranku
menerawang mengingat kejadian-kejadian yang
semalam baru kualami. Membayangkan penis
suamiku walau tidak begitu besar namun
mampu memberikan kepuasan padaku. Dan ini
merupakan kebiasaanku.
Walaupun aku telah bersuami, namun aku selalu
menutup kenikmatan bersetubuh dengan Mas
Hadi dengan bermasturbasi, karena kadang-
kadang bermasturbasi lebih nikmat.
Singkat cerita, siang itu aku sudah berada di
depan rumah Yanti yang besar itu. Dan Yanti
menyambutku saat aku mengetuk pintunya.
“Apa khabar Rida..?” begitu katanya sambil
mencium pipiku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini..!”
jawabku.
Setelah berbasa-basi, Yanti membimbingku
masuk ke ruangan tengah dan mempersilakan
aku untuk duduk.
“Sebentar ya.., kamu santailah dahulu, aku ambil
minuman di belakang…” lalu Yanti
meninggalkanku.
Aku segera duduk di sofanya yang empuk. Aku
memperhatikan ke sekeliling ruangan ini. Bagus
sekali rumahnya, beda dengan rumahku. Di
setiap sudut ruang terdapat hiasan-hiasan yang
indah, dan pasti mahal-mahal. Foto-foto Yanti
dan suaminya terpampang di dinding-dinding.
Sandi yang dahulu katanya sempat menaksir
aku, yang kini adalah suami Yanti, terlihat
semakin ganteng saja. Dalam pikirku berkata,
menyesal juga aku acuh tak acuh terhadapnya
dahulu. Coba kalau aku terima cintanya,
mungkin aku yang akan menjadi istrinya.
Sambil terus memandangi foto Sandi, suaminya,
terlintas pula dalam ingatanku betapa pada saat
kuliah dulu lelaki keturunan Manado ini mencoba
menarik perhatianku (aku, Yanti dan Sandi
memang satu kampus). Sandi memang orang
kaya. Dia adalah anak pejabat pemerintahan di
Jakarta. Pada awalnya aku pun tertarik, namun
karena aku tidak suka dengan sifatnya yang
sedikit sombong, maka segala perhatiannya
padaku tidak kutanggapi. Aku takut jika tidak
cocok dengannya, karena aku orangnya sangat
sederhana.
Lamunannku dikagetkan oleh munculnya Yanti.
Sambil membawa minuman, Yanti berjalan ke
arah aku duduk, menaruh dua gelas sirup dan
mempersilakanku untuk minum.
“Ayo Rid, diminum dulu..!” katanya.
Aku mengambil sirup itu dan meminumnya.
Beberapa teguk aku minum sampai rasa dahaga
yang sejak tadi terasa hilang, aku kembali
menaruh gelas itu.
“Oh iya, Mas Sandi ke mana?” tanyaku.
“Biasa… Bisnis dia,” kata Yanti sambil menaruh
gelasnya. “Sebentar lagi juga pulang. Sudah
kutelpon koq dia, katanya dia juga kangen sama
kamu..!” ujarnya lagi.
Yanti memang sampai sekarang belum
mengetahui kalau suaminya dahulu pernah
naksir aku. Tapi mungkin juga Sandi sudah
memberitahukannya.
“Kamu menginap yah.. di sini..!” kata Yanti.
“Akh… enggak ah, tidak enak khan..!” kataku.
“Loh… nggak enak gimana, kita kan sahabat.
Sandi pun kenal kamu. Lagian aku sudah
mempersiapkan kamar untukmu, dan aku pun
sedang ambil cuti koq, jadi temani aku ya..,
oke..!” katanya.
“Kasihan Mas Hadi nanti sendirian..!” kataku.
“Aah… Mas Hadi khan selalu menurut
keinginanmu, bilang saja kamu mau menginap
sehari di sini menemani aku. Apa harus aku
yang bicara padanya..?”
“Oke deh kalau begitu.., aku pinjam telponmu
ya..!” kataku.
“Tuh di sana…!” kata Yanti sambil menujuk ke
arah telepon.
Aku segera memutar nomor telpon kantor
suamiku. Dengan sedikit berbohong, aku minta
ijin untuk menginap di rumah Yanti. Dan
menganjurkan Mas Hadi untuk tidur di rumah
orangtuaku. Seperti biasa Mas Hadi mengijinkan
keinginanku. Dan setelah basa-basi dengan
suamiku, segera kututup gagang telpon itu.
“Beres..!” kataku sambil kembali duduk di sofa
ruang tamu.
“Nah.., gitu dong..! Ayo kutunjukkan
kamarmu..!” katanya sambil membimbingku.
Di belakang Yanti aku mengikuti langkahnya. Dari
belakang itu juga aku memperhatikan tubuh
montoknya. Yanti tidak berubah sejak dahulu.
Pantatnya yang terbungkus celana jeans pendek
yang ketat melenggak-lenggok. Pinggulnya yang
ramping sungguh indah, membuatku iseng
mencubit pantat itu.
“Kamu masih montok saja, Yan..!” kataku sambil
mencubit pantatnya.
“Aw.., akh.. kamu. Kamu juga masih seksi saja.
Bisa-bisa Mas Sandi nanti naksir kamu..!” katanya
sambil mencubit buah dadaku.
Kami tertawa cekikikan sampai kamar yang
dipersiapkan untukku sudah di depan mataku.
“Nah ini kamarmu nanti..!” kata Yanti sambil
membuka pintu kamar itu.
Besar sekali kamar itu. Indah dengan hiasan
interior yang berseni tinggi. Ranjangnya yang
besar dengan seprei yang terbuat dari kain
beludru warna biru, menghiasi ruangan ini.
Lemari pakaian berukiran ala Bali juga menghiasi
kamar, sehingga aku yakin setiap tamu yang
menginap di sini akan merasa betah.
Akhirnya di kamar itu sambil merebahkan diri,
kami mengobrol apa saja. Dari pengalaman-
pengalaman dahulu hingga kejadian kami
masing-masing. Kami saling bercerita tentang
keluhan-keluhan kami selama ini. Aku pun
bercerita panjang mulai dari perkawinanku
sampai sedetil-detilnya, bahkan aku bercerita
tentang hubungan bercinta antara aku dan
suamiku. Kadang kami tertawa, kadang kami
serius saling mendengarkan dan bercerita.
Hingga pembicaraan serius mulai kucurahkan
pada sahabatku ini, bahwa aku ingin bekerja di
perusahan bapaknya yang direktur.
“Gampang itu..!” kata Yanti. “Aku tinggal
menghubungi Papa nanti di Jakarta. Kamu pasti
langsung diberi pekerjaan. Papaku kan tahu kalau
kamu adalah satu-satunya sahabatku di dunia
ini..” lanjutnya sambil tertawa lepas.
Tentu saja aku senang dengan apa yang
dibicarakan oleh Yanti, dan kami pun
meneruskan obrolan kami selain obrolan yang
serius barusan.
Tanpa terasa, di luar sudah gelap. Aku pun minta
ijin ke Yanti untuk mandi. Tapi Yanti malah
mengajakku mandi bersama. Dan aku tidak
menolaknya. Karena aku berpikir toh sama-sama
wanita.Sungguh di luar dugaan, di kamar mandi
ketika kami sama-sama telanjang bulat, Yanti
memberikan sesuatu hal yang sama sekali tidak
terpikirkan.
Sebelum air yang hangat itu membanjiri tubuh
kami, Yanti memelukku sambil tidak henti-
hentinya memuji keindahan tubuhku. Semula
aku risih, namun rasa risih itu hilang oleh
perasaan yang lain yang telah menjalar di
sekujur tubuh. Sentuhan-sentuhan tangannya ke
sekujur tubuhku membuatku nikmat dan tidak
kuasa aku menolaknya. Apalagi ketika Yanti
menyentuh bagian tubuhku yang sensitif.
Kelembutan tubuh Yanti yang memelukku
membuatku merinding begitu rupa. Buah
dadaku dan buah dadanya saling beradu.
Sementara bulu-bulu lebat yang berada di
bawah perut Yanti terasa halus menyentuh
daerah bawah perutku yang juga ditumbuhi
bulu-bulu. Namun bulu-bulu kemaluanku tidak
selebat miliknya, sehingga terasa sekali
kelembutan itu ketika Yanti menggoyangkan
pinggulnya.
Karena suasana yang demikian, aku pun
menikmati segala apa yang dia lakukan. Kami
benar-benar melupakan bahwa kami sama-
sama perempuan. Perasaan itu hilang akibat
kenikmatan yang terus mengaliri tubuh. Dan
pada akhirnya kami saling berpandangan, saling
tersenyum, dan mulut kami pun saling
berciuman.
Kedua tanganku yang semuala tidak bergerak
kini mulai melingkar di tubuhnya. Tanganku
menelusuri punggungnya yang halus dari atas
sampai ke bawah dan terhenti di bagian buah
pantatnya. Buah pantat yang kencang itu secara
refleks kuremas-remas. Tangan Yanti pun
demikian, dengan lembut dia pun meremas-
remas pantatku, membuatku semakin naik dan
terbawa arus suasana. Semakin aku mencium
bibirnya dengan bernafsu, dibalasnya ciumanku
itu dengan bernafsu pula.
Hingga suatu saat ketika Yanti melepas ciuman
bibirnya, lalu mulai menciumi leherku dan
semakin turun ke bawah, bibirnya kini
menemukan buah dadaku yang mengeras.
Tanpa berkata-kata sambil sejenak melirik
padaku, Yanti menciumi dua bukit payudaraku
secar bergantian. Napasku mulai memburu
hingga akhirnya aku menjerit kecil ketika bibir itu
menghisap puting susuku. Dan sungguh aku
menikmati semuanya, karena baru pertama kali
ini aku diciumi oleh seorang wanita.
“Akh.., Yaantiii.., oh..!” jerit kecilku sedikit
menggema.
“Kenapa Rid.., enak ya..!” katanya di sela-sela
menghisap putingku.
“Iya.., oh.., enaaks… teruus..!” kataku sambil
menekan kepalanya.
Diberi semangat begitu, Yanti semakin gencar
menghisap-hisap putingku, namun tetap lembut
dan mesra. Tangan kirinya menahan tubuhku di
punggung.
Sementara tangan kanannya turun ke bawah
menuju kemaluanku. Aku teringat akan suamiku
yang sering melakukan hal serupa, namun
perbedaannya terasa sekali, Yanti sangat lembut
memanjakan tubuhku ini, mungkin karena dia
juga wanita.
Setelah tangan itu berada di kemaluanku, dengan
lembut sekali dia membelainya. Jarinya sesekali
menggesek kelentitku yang masih tersembunyi,
maka aku segera membuka pahaku sedikit agar
kelentitku yang terasa mengeras itu leluasa
keluar.
Ketika jari itu menyentuh kelentitku yang
mengeras, semakin asyik Yanti memainkan
kelentitku itu, sehingga aku semakin tidak dapat
mengendalikan tubuhku. Aku menggelinjang
hebat ketika rasa geli campur nikmat menjamah
tubuhku. Pori-poriku sudah mengeluarkan
keringat dingin, di dalam liang vaginaku sudah
terasa ada cairan hangat yang mengalir perlahan,
pertanda rangsangan yang sungguh
membuatku menjadi nikmat.
Ketika tanganku menekan bagian atas kepalanya,
bibir Yanti yang menghisap kedua putingku
secara bergantian segera berhenti. Ada keinginan
pada diriku dan Yanti mengerti akan keinginanku
itu. Namun sebelumnya, kembali dia pada posisi
wajahnya di depan wajahku. Tersungging
senyuman yang manis.
“Ingin yang lebih ya..?” kata Santi.
Sambil tersenyum aku mengangguk pelan.
Tubuhku diangkatnya dan aku duduk di ujung
bak mandi yang terbuat dari porselen. Setelah
aku memposisikan sedemikian rupa, tangan
Yanti dengan cekatan membuka kedua pahaku
lebar-lebar, maka vaginaku kini terkuak bebas.
Dengan posisi berlutut, Yanti mendekatkan
wajahnya ke selangkanganku. Aku menunggu
perlakuannya dengan jantung yang berdebar
kencang.
Napasku turun naik, dadaku terasa panas, begitu
pula vaginaku yang terlihat pada cermin yang
terletak di depanku sudah mengkilat akibat
basah, terasa hangat. Namun rasa hangat itu
disejukkan oleh angin yang keluar dari kedua
lubang hidung Yanti. Tangan Yanti kembali
membelai vaginaku, menguakkan belahannya
untuk menyentuh kelentitku yang semakin
menegang.
Agak lama Yanti membelai-belai kemaluanku itu
yang sekaligus mempermainkan kelentitku.
Sementara mulutnya menciumi pusar dan
sekitarnya. Tentu saja aku menjadi kegelian dan
sedikit tertawa. Namun Yanti terus saja
melakukan itu.
Hingga pada suatu saat, “Eiist… aakh… aawh…
Yanthhii… akh… mmhh… ssh..!” begitu suara
yang keluar dari mulutku tanpa disadari, ketika
mulutnya semakin turun dan mencium
vaginaku.
Kedua tangan Yanti memegangi pinggul dan
pantatku menahan gerakanku yang
menggelinjang nikmat.
Kini ujung lidahnya yang menyentuh kelentitku.
Betapa pintar dia mempermainkan ujung lidah
itu pada daging kecilku, sampai aku kembali tidak
sadar berteriak ketika cairan di dalam vaginaku
mengalir keluar.
“Oohh… Yantii… ennaakss… sekaalii..!” begitu
teriakku.
Aku mulai menggoyangkan pinggulku,
memancing nikmat yang lebih. Yanti masih pada
posisinya, hanya sekarang yang dijilati bukan
hanya kelentitku tapi lubang vaginaku yang
panas itu. Tubuhku bergetar begitu hebat.
Gerakan tubuhku mulai tidak karuan. Hingga
beberapa menit kemudian, ketika terasa
orgasmeku mulai memuncak, tanganku
memegang bagian belakang kepalanya dan
mendorongnya. Karuan saja wajah Yanti
semakin terpendam di selangkanganku.
“Hissapp… Yantiii..! Ooh.., aku.. akuu.. mau..
keluaar..!” jeritku.
Yanti berhenti menjilat kelentitku, kini dia
mencium dan menghisap kuat lubang
kemaluanku.
Maka.., “Yaantii.., aku.. keluaar..! Oh.., aku..
keluar.. nikmaathhs.. ssh..!” bersamaan dengan
teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme.
Tubuhku seakan melayang entah kemana.
Wajahku menengadah dengan mata terpejam
merasakan berjuta-juta nikmat yang sekian detik
menjamah tubuh, hingga akhirnya aku melemas
dan kembali pada posisi duduk. Maka Yanti pun
melepas hisapannya pada vaginaku.
Dia berdiri, mendekatkan wajahnya ke hadapan
wajahku, dan kembali dia mencium bibirku yang
terbuka. Napasku yang tersengal-sengal
disumbat oleh mulut Yanti yang menciumku.
Kubalas ciuman mesranya itu setelah tubuhku
mulai tenang.
“Terimakasih Yanti.., enak sekali barusan..!”
kataku sambil tersenyum.
Yanti pun membalas senyumanku. Dia
membantuku turun dari atas bak mandi itu.
“Kamu mau nggak dikeluarin..?” kataku lagi.
“Nanti sajalah.., lagian udah gatel nih badanku.
Sekarang mending kita mandi..!” jawabnya
sambil menyalakan shower.
Akhirnya kusetujui usul itu, sebab badanku
masih lemas akibat nikmat tadi. Dan rupanya
Yanti tahu kalau aku kurang bertenaga, maka aku
pun dimandikannya, disabuni, diperlakukan
layaknya seorang anak kecil. Aku hanya tertawa
kecil. Iseng-iseng kami pun saling menyentuh
bagian tubuh kami masing-masing. Begitupula
sebaliknya, ketika giliran Yanti yang mandi, aku
lah yang menyabuni tubuhnya.
Setelah selesai mandi, kami pun keluar dari
kamar mandi itu secara bersamaan. Sambil
berpelukan, pundak kami hanya memakai
handuk yang menutup tubuh kami dari dada
sampai pangkal paha, dan sama sekali tidak
mengenakan dalaman. Aku berjalan menuju
kamarku sedang Yanti menuju kamarnya
sendiri. Di dalam kamar aku tidak langsung
mengenakan baju. Aku masih membayangkan
kejadian barusan. Seolah-olah rasa nikmat tadi
masih mengikutiku.
Di depan cermin, kubuka kain handuk yang
menutupi tubuhku. Handuk itu jatuh terjuntai ke
lantai, dan aku mulai memperhatikan tubuh
telanjangku sendiri. Ada kebanggaan dalam
hatiku. Setelah tadi melihat tubuh telanjang Yanti
yang indah, ternyata tubuhku lebih indah. Yanti
memang seksi, hanya dia terlalu ramping
sehingga sepintas tubuhnya itu terlihat kurus.
Sedangkan tubuhku agak montok namun tidak
terkesan gemuk.
Entah keturunan atau tidak, memang
demikianlah keadaan tubuhku. Kedua
payudaraku berukuran 34B dengan puting yang
mencuat ke atas, padahal aku pernah menyusui
anakku. Sedangkan payudara Yanti berukuran 32
tapi juga dengan puting yang mencuat ke atas
juga.
Kuputar tubuhku setengah putaran. Kuperhatikan
belahan pantatku. Bukit pantatku masih kencang,
namun sudah agak turun, karena aku pernah
melahirkan. Berbeda dengan pantat milik Yanti
yang masih seperti pantat gadis perawan, seperti
pantat bebek.
Kalau kuperhatikan dari pinggir tubuhku, nampak
perutku yang ramping. Vaginaku nampak
menonjol keluar. Bulu-bulu kemaluanku tidak
lebat, walaupun pernah kucukur pada saat aku
melahirkan. Padahal kedua tangan dan kedua
kakiku tumbuh bulu-bulu tipis, tapi pertumbuhan
bulu kemaluanku rupanya sudah maksimal. Lain
halnya dengan Yanti, walaupun perutnya lebih
ramping dibanding aku, namun kemaluannya
tidak menonjol alias rata. Dan daerah itu
ditumbuhi bulu-bulu yang lebat namun tertata
rapi.
Setelah puas memperhatikan tubuhku sendiri
(sambil membandingkan dengan tubuh Yanti),
aku pun membuka tasku dan mengambil celana
dalam dan Bra-ku. Kemudian kukenakan kedua
pakaian rahasiaku itu setelah sekujur tubuhku
kulumuri bedak. Namun aku agak sedikit kaget
dengan teriakan Yanti dari kamarnya yang tidak
begitu jauh dari kamar ini.
“Rida..! Ini baju tidurmu..!” begitu teriaknya.
Maka aku pun mengambil handuk yang berada
di lantai. Sambil berjalan kukenakan handuk itu
menutupi tubuhku seperti tadi, lalu keluar
menuju kamarnya yang hanya beberapa
langkah. Pintu kamarnya ternyata tidak dikunci.
Karena mungkin Yanti tahu kedatanganku, maka
dia mempersilakan aku masuk.
“Masuk sini Rid..!” kataya dari dalam kamar.
Kudorong daun pintu kamarnya. Aku melihat di
dalam kamar itu tubuh Yanti yang telanjang
merebah di atas kasur. Tersungging senyuman
di bibirnya. Karena aku sudah melangkah
masuk, maka kuhampiri tubuh telanjang itu.
“Kamu belum pake baju, Yan..?” kataku sambil
duduk di tepi ranjang.
“Akh.., gampang… tinggal pake itu, tuh..!” kata
Yanti sambil tangannya menunjuk tumpukan
gaun tidur yang berada di ujung ranjang.
Lalu dia berkata lagi, “Kamu sudah pake
daleman, ya..?”
Aku mengangguk, “Iya..!”
Kuperhatikan dadanya turun naik. Napasnya
terdengar memburu. Apakah dia sedang
bernafsu sekarang.., entahlah.
Lalu tangan Yanti mencoba meraihku. Sejenak
dia membelai tubuhku yang terbungkus handuk
itu sambil berkata, “Kamu mengairahkan sekali
memakai ini..!”
“Akh.., masa sih..!” kataku sambil tersenyum
dan sedikit menggeser tubuhku lebih mendekat
ke tubuh Yanti.
“Benar.., kalo nggak percaya.., emm.. kalo
nggak percaya..!” kata Yanti sedikit menahan
kata-katanya.
“Kalo nggak percaya apa..?” tanyaku.
“Kalo nggak percaya..!” sejenak matanya melirik
ke arah belakangku.
“Kalo nggak percaya tanya saja sama orang di
belakangmu… hi.. hi..!” katanya lagi.
Segera aku memalingkan wajahku ke arah
belakangku. Dan.., (hampir saja aku teriak kalau
mulutku tidak buru-buru kututup oleh tanganku),
dengan jelas sekali di belakangku berdiri tubuh
lelaki dengan hanya mengenakan celana dalam
berwarna putih yang tidak lain adalah Mas Sandi
suami Yanti itu. Dengan refleks karena kaget aku
langsung berdiri dan bermaksud lari dari
ruangan ini. Namun tangan Yanti lebih cepat
menangkap tanganku lalu menarikku sehingga
aku pun terjatuh dengan posisi duduk lagi di
ranjang yang empuk itu.
“Mau kemana.. Rida.., udah di sini temani aku..!”
kata Yanti setengah berbisik.
Aku tidak sempat berkata-kata ketika Mas Sandi
mulai bergerak berjalan menuju aku. Dadaku
mulai berdebar-debar. Ada perasaan malu di
dalam hatiku.
“Halo.., Rida. Lama tidak bertemu ya…” suara
Mas Sandi menggema di ruangan itu.
Tangannya mendarat di pundakku, dan lama
bertengger di situ.
Aku yang gelagapan tentu saja semakin
gelagapan. Namun ketika tangan Yanti dilepaskan
dari cengkramannya, pada saat itu tidak ada
keinginanku untuk menghindar. Tubuhku terasa
kaku, sama sekali aku tidak dapat bergerak.
Lidahku pun terasa kelu, namun beberapa saat
aku memaksa bibirku berkata-kata.
“Apa-apaan ini..?” tanyaku parau sambil melihat
ke arah Yanti.
Sementara tangan yang tadi bertengger di
bahuku mulai bergerak membelai-belai. Serr..,
tubuhku mulai merinding. Terasa bulu-bulu
halus di tangan dan kaki berdiri tegak.
Rupanya Sentuhan tangan Mas Sandi mampu
membangkitkan birahiku kembali. Apalagi ketika
terasa di bahuku yang sebelah kiri juga didarati
oleh tangan Mas Sandi yang satunya lagi.
Perasaan malu yang tadi segera sirna. Tubuhku
semakin merinding. Mataku tanpa sadar
terpejam menikmati dalam-dalam sentuhan
tangan Mas Sandi di bahuku itu.
Pijatan-pijatan kecil di bahuku terasa nyaman
dan enak sekali. Aku begitu menikmati apa yang
terasa. Hingga beberapa saat kemudian tubuhku
melemas. Kepalaku mulai tertahan oleh perut
Mas Sandi yang masih berada di belakangku.
Sejenak aku membuka mataku, nampak Yanti
membelai vaginanya sendiri dengan tangan
kanannya, sementara tangan kirinya meremas
pelan kedua payudaranya secara bergantian.
Tersungging senyuman di bibirnya.
“Nikmati Rida..! Nikmati apa yang kamu sekarang
rasakan..!” suara Yanti masih sedikit membisik.
Aku masih terbuai oleh sentuhan kedua tangan
Mas Sandi yang mulai mendarat di daerah atas
payudarara yang tidak tertutup. Mataku masih
terpejam.
“Ini.. kan yang kamu inginkan. Kupinjamkan
suamiku..!” kata Yanti lagi.
Mataku terbuka dan kembali memperhatikan
Yanti yang masih dengan posisinya.
“Ayo Mas..! Nikmati Rida yang pernah kamu
taksir dulu..!” kata Yanti lagi.
“Tentu saja Sayang.., asal.. kamu ijinkan..!” kata
suara berat Mas Sandi.
Tubuhnya dibungkukkan. Kemudian wajahnya
ditempelkan di bagian atas kepalaku. Terasa
bibirnya mencium mesra daerah itu. Kembali
aku memejamkan mata. Bulu-buluku semakin
keras berdiri. Sentuhan lembut tangan Mas Sandi
benar-benar nikmat. Sangat pintar sekali
sentuhan itu memancing gairahku untuk bangkit.
Apalagi ketika tangan Mas Sandi sebelah kanan
berusaha membuka kain handuk yang masih
menutupi tubuhku itu.
“Oh.., Mas.., Maas… jangaan… Mas..!” aku hanya
dapat berkata begitu tanpa kuasa menahan
tindakan Mas Sandi yang telah berhasil
membuka handuk dan membuangnya jauh-
jauh.
Tinggallah tubuh setengah bugilku. Kini gairahku
sudah memuncak dan aku mulai lupa dengan
keadaanku. Aku sudah terbius suasana.
Mas Sandi mulai berlutut, namun masih pada
posisi di belakangku. Kembali dia membelai
seluruh tubuhku. Dari punggungku, lalu ke
perut, naik ke atas, leherku pun kena giliran
disentuhnya, dan aku mendesah nikmat ketika
leherku mulai dicium mesra oleh Mas Sandi.
Sementara desahan-desahan kecil terdengar dari
mulut Yanti.
Aku melirik sejenak ke arah Yanti, rupanya dia
sedang masturbasi. Lalu aku memejamkan mata
lagi, kepalaku kutengadahkan memberikan
ruangan pada leherku untuk diciumi Mas Sandi.
Persaanku sudah tidak malu-malu lagi, aku
sudah kepalang basah. Aku lupa bahwa aku telah
bersuami, dan aku benar-benar akan merasakan
apa yang akan kurasakan nanti, dengan lelaki
yang bukan suamiku.
“Buka ya.. BH-nya, Rida..!” kata Mas Sandi sambil
melepas kancing tali BH-ku dari punggung.
Beberapa detik BH itu terlepas, maka terasa
bebas kedua payudaraku yang sejak tadi tertekan
karena mengeras. Suara Yanti semakin keras,
rupanya dia mencapai orgasmenya. Kembali aku
melirik Yanti yang membenamkan jari manis
dan jari telunjuknya ke dalam vaginanya sendiri.
Nampak dia mengejang dengan mengangkat
pinggulnya.
“Akh.., nikmaats… ooh… nikmaatts.. sekalii..!”
begitu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dan tidak lama kemudian dia terkulai lemas di
ranjang itu. Sementara Mas Sandi sibuk dengan
kegiatannya.
Kini kedua payudaraku sudah diremasi dengan
mesra oleh kedua telapak tangannya dari
belakang. Sambil terus bibirnya menjilati inci
demi inci kulit leherku seluruhnya. Sedang enak-
enaknya aku, tiba-tiba ada yang menarik celana
dalamku. Aku membuka mataku, rupanya Yanti
berusaha untuk melepas celana dalamku itu.
Maka kuangkat pantatku sejenak memudahkan
celana dalamku dilepas oleh Yanti. Maka setelah
lepas, celana dalam itu juga dibuang jauh-jauh
oleh Yanti.
Aku menggeser posisi dudukku menuju ke
bagian tengah ranjang itu. Mas Sandi mengikuti
gerakanku masih dari belakang, sekarang dia
tidak berlutut, namun duduk tepat di belakang
tubuhku. Kedua kakinya diselonjorkan, maka
pantatku kini berada di antara selangkangan milik
Mas Sandi. Terasa oleh pantatku ada tonjolan
keras di selangkangan. Rupanya penis Mas Sandi
sudah tegang maksimal.
Lalu Yanti membuka lebar-lebar pahaku,
sehingga kakiku berada di atas paha Mas Sandi.
Lalu dengan posisi tidur telungkup, Yanti
mendekatkan wajahnya ke selangkanganku, dan
apa yang terjadi…
“Awwh… ooh… eeisth.. aakh..!” aku menjerit
nikmat ketika kembali kurasakan lidahnya
menyapu-nyapu belahan vaginaku, terasa
kelentitku semakin menegang, dan aku tidak
dapat mengendalikan diri akibat nikmat, geli,
enak, dan lain sebagainya menyatu di tubuhku.
Kembali kepalaku menengadah sambil mulutku
terbuka. Maka Mas Sandi tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Dia tahu maksudku. Dari
belakang, bibirnya langsung melumat bibirku
yang terbuka itu dengan nafsunya. Maka kubalas
ciuman itu dengan nafsu pula. Dia menyedot,
aku menyedot pula. Terjadilah pertukaran air liur
Mas Sandi dengan air liurku. Terciuma aroma
rokok pada mulutnya, namun aroma itu tidak
mengganggu kenikmatan ini.


Adult | GO HOME | Exit
1/1423
U-ON

inc Powered by Xtgem.com